babeh
Kamis, 20 September 2012
resensi sejarah pendidikan indonesia
resensi sejarah pendidikan indonesia
judul: Pembodohan Siswa Tersistimatis
Penulis: Muhammad Joko Susilo
Penerbit: Pinus Book Publisher
Tebal: 239 halaman
Peresensi: Lusi Peilouw (Peneliti dan Konsultan pada Lembaga InDev, Ambon)
Fatamorgana. Itu yang terbersit dibenak saya ketika melewati lembar demi lembar dari buku yang judulnya cukup radikal, Pembodohan Siswa Tersistimatis. Gambar depannya pun terbilang super, mengingatkan saya pada kisah seorang kakek berusia 60an tahun di Kenya yang duduk di bangku SD bersama cucu-cucu sekampungnya, dampak dari dicanangkannya Education For All. Setelah menyelesaikan beberapa bagian dari buku itu barulah tertangkap oleh radar saya makna dibalik gambar depan itu yaitu seseorang yang sudah uzur tetapi pola pikir dan perilakunya tidak ubah dengan seorang bocah SD. Jelas menggambarkan sebuah sistim pembodohan. Buku ini membuat saya terhentak ke alam sadar dan melihat kenyataan betapa perkembangan pengelolaan pendidikan di Indonesia dewasa ini terlalu banyak menciptakan fatamorgana. Sesuatu yang nyata namun sebetulnya tiada. Peningkatan mutu dikejar dengan berbagai desain kebijakan yang kebanyakan semu. Yang benar “nyata dan ada” adalah pembodohan.
Penulis mengorganisasikan muatan bukunya dalam 8 bagian, tentu dengan alur pikir dan design penulisan yang diyakini baik oleh penulis. Namun saya melihatnya dalam 4 bagian besar, karena 6 bagian awal semuanya merupakan realita pendidikan di negara kita tercinta ini. Di bagian pembuka saya melihat penulis mencoba menyajikan dua hal berbeda yaitu idealisme dan realita. Tentang idealisme, penulis mengemukakan kembali konsep pikir tentang sejatinya pendidikan yang dilahirkan oleh bapak pendidikan kita, Ki Hajar Dewantara. Sementara pada sisi realita, pembaca dapat menemukan kenyataan-kenyataan buramnya potret pendidikan yang kita miliki. Penulis mengemukakan kembali hal-hal pilu yang terjadi dan terpublikasi melalui koran-koran nasional termasuk beberapa peristiwa tragis yang dialami oleh pelajar-pelajar kurang beruntung dan keluarganya.
Pemaparan tentang realita di negara kita dilanjutkan dengan mempertanyakan kemana sebetulnya kiblat pendidikan kita. Penulis memperlihatkan keberadaan berkembangnya pendidikan di beberapa negara, mulai dari tetangga-tetangga kita sampai ke negara-negara barat, yang ternyata memiliki landasan filosofis yang tidak berbeda dengan kita.
Sayang sekali, kita tidak cukup memiliki komitmen dan konsistensi yang kuat untuk membangun pendidikan kita diatas landasan yang sudah secara elegant dan smartnya diletakan oleh tokoh-tokoh pendidikan kita. Alhasil, kita masih harus mencari kiblat. Padahal itu tidak perlu dilakukan. Saya mencoba menangkap apa yang ingin disampaikan oleh penulis pada bagian ini, bahwa kita, yang mestinya menjadi kiblat negara-negara yang sudah cukup maju paling tidak bagi Singapura dan Malaysia, kini malah seperti kembali ke titik nol. Kita meninggalkan fondasi ideal yang sudah ada dan mendirikan bangunan lain tanpa fondasi ibarat bangunan bongkar pasang. Pemikiran ini terlihat dari ulasan penulis tentang Kurikulum Berbasis Bingung (KBB) di halaman 25. Benar, tidak ubahnya dengan sebuah bangunan bongkar pasang. Mulai dari kurikulum yang diberlakukan pada tahun 1975, CBSA, KBK dan sekarang KTSP. Besok, ketika Menteri Pendidikan diganti, entah apalagi kurikulumnya. “Siswa seakan-akan menjadi kelinci percobaan…”, kata penulis di halaman yang sama.
Semua realita itu melahirkan asumsi-asumsi kuat tentang bagaimana pembodohan itu terbangun. Dan secara cerdas penulis melihat bahwa mekanisme pembodohan itu linier alurnya dengan proses pendidikan dimana hulunya adalah dari rumah. Disadari atau tidak, pembodohan itu terjadi pula di rumah, sebagai lembaga yang paling responsible untuk pendidikan anak. Kurangnya perhatian orang tua terhadap anak, perilaku penyisipan amplop kepada guru, pemaksaan kehendak orang tua terhadap anak dalam memilih bidang studi lanjutan, himpitan ekonomi yang menjadikan anak sebagai mesin pencetak koin-koin rupiah bagi keluarga sampai pada pola mendidik yang penuh kekerasan dianggap penulis sebagai bentuk pembodohan yang diciptakan sendiri oleh orang tua. Hal yang tidak banyak disadari oleh khalayak bahkan oleh mereka yang melahirkan sendiri para korban pembodohan itu.
Beranjak dari rumah, penulis melihat perilaku pembodohan itu ada pula di sekolah. Sangat ironis dan miris, bahwa ternyata, lembaga yang seyogyanya mengemban misi membuat orang menjadi pintar, justru membodohkan! Di dalam masyarakat pun perilaku pembodohan ada. Begitu pula dalam tubuh pemerintah melalui kebijakan-kebijakannya.
Tidak hanya berhenti pada titik mengkritisi, penulis juga secara vulgar menawarkan alternatif-alternatif solusi yang cukup practical untuk dilakukan oleh semua pihak baik orang tua, sekolah, masyarakat dan pemerintah dalam rangka menghapus perilaku-perilaku pembodohan. Tantangan terbesar pendidikan sebagai sistim dan institusi ke depan adalah sejumlah kecenderungan globalisasi. Penulis memunculkan sebuah pertanyaan kritis: “mampukah praktek pendidikan kita menghasilkan lulusan dengan kualitas yang memadai untuk menghadapi kecenderungan-kecenderungan globalisasi itu?” Reformasi pendidikan dengan paradigma baru dalam pengelolaan sekolah adalah jawabannya yang ulasannya dapat ditemukan dibagian-bagian penutup buku ini.
Sebagai seorang akademisi, Penulis cukup bijak mengemas pikiran dan semua sumber informasi maupun data yang dimiliki menjadi kemasan bacaan yang walaupun terkesan cukup berat, namun sebetulnya sangat mudah untuk dicerna oleh semua kalangan.
Semua orang pemakai jasa pendidikan, mesti memahami dengan benar dan mengamati – mengawal dengan cermat proses hidup-menghidupkan pendidikan di tanah air kita. Oleh karena itu, isi buku ini sangat direkomendasikan untuk dikonsumsi. Selain itu, buku ini cocok menjadi bahan evaluasi diri bagi semua pemangku kepentingan maupun pelaku pengembangan pendidikan atau sebagaimana penulis gunakan di halaman 86, dalang dan Pelakon pendidikan. Lebih jauh, buku ini bisa menjadi referensi bagi masyarakat luas untuk bekerja bersama menghilangkan satu per satu fatamorgana yang ada di dunia pendidikan kita
resensi sejarah pendidikan indonesia
resensi sejarah pendidikan indonesia
Wajah Pendidikan Nusantara
(Resensi Buku "Indonesia Mengajar: Kisah Para Pengajar Muda di Pelosok Negeri")
Jawa Pos, Minggu, 18 Desember 2011
Oleh Benni Setiawan*
"Melalui kisah-kisah yang termuat dalam buku ini, kita masih boleh yakin bahwa masa depan republik ini masih cerah."
Pendidikan Nusantara bukan hanya yang berada di Jawa. Pendidikan Nusantara adalah proses belajar mengajar yang tersaji dari Sabang hingga Merauke. Di pelosok daerah itulah kita akan menemukan potret nyata pendidikan di bumi pertiwi.
Ya, potret tersebut disajikan secara apik, menawan, penuh suka cita, kesedihan, dan kegembiraan oleh pengajar muda. Pengajar muda adalah mereka yang telah disaring melalui proses ketat oleh Yayasan Gerakan Indonesia Mengajar pimpinan Anies Baswedan (Rektor Universitas Paramadina, Jakarta).
Dari 1.383 pendaftar hanya diambil 51 orang. Mereka merupakan manusia pilihan, orang yang pantang menyerah, mempunyai jiwa kepemimpinan dan kecintaan yang mendalam terhadap Nusantara. Utamanya dalam masalah pendidikan di tanah air.
Satu Tahun Penuh Makna
Mereka berani meninggalkan kenyamanan di kota dengan berbagai fasilitas yang mendukung. Mereka pun dengan kerelaan hati meninggalkan pekerjaan mapan di kota dengan berbagai fasilitas yang mendukung. Mereka terpanggil untuk mendidik anak bangsa maju dan mendapatkan pendidikan yang memadai.
Selama setahun pengajar muda mendedikasikan hidupnya untuk pendidikan rakyat di daerah terpencil. Pergulatan mendidik selama setahun inilah yang kemudian mewujud menjadi sebuah buku Indonesia Mengajar.
Selama setahun itu deretan kisah para pengajar muda seakan tak berujung. Setiap hari ada yang baru. Setiap persaudaraan adalah kebaruan penuh nuansa ikhlas. Tiap interaksi akan berhilir pada sebuah kisah. Ada terlalu banyak kisah mereka; kisah yang akan selalu menempel dalam kenangan para pengajar muda.
Di buku ini, sebagian dari kisah, pengalaman, pengamatan pengajar muda dituliskan. Kisah-kisah yang mereka tuliskan melalui blog di situs web Indonesia Mengajar itulah yang dipilah dan dipublikasikan dalam buku ini. Kisah-kisah yang membuat kita semakin yakin, semakin optimistis bahwa masa depan Republik ini memang cerah untuk semua.
Dari kisah-kisah ini terlihat bahwa satu tahun mereka berada di tengah-tengah rakyat di pelosok negeri, di tengah anak-anak bangsa yang kelak akan meneruskan sejarah Republik ini, adalah satu tahun penuh makna. Satu tahun berada bersama anak-anak di dekat keindaha alam, dan di lembah-lembah hijau yang membenyang sepanjang khatulistiwa.
Di desa-desa terpencil itu para pengajar muda menorehkan jejak, menitipkan pahala, bagi para siswa SD di sana, alas kaki bisa jadi tidak ada, baju bisa jadi kumal dan ala kadarnya tetapi mata mereka bisa berbinar karena kehadiran guru muda penuh dedikasi. Pengajar muda hadir memberikan harapan. Pengajar muda hadir mendekatkan jarak mereka dengan pusat kemajuan, hadir membuat anak-anak SD di pelosok negeri memiliki mimpi dan hadir membuat para orangtua di desa-desa terpencil ingin memiliki anak yang terdidik seperti para Pengajar muda.
Ya, bisa jadi ketertinggalan adalah baju rakyat di pelosok sekarang, tetapi hadirnya Pengajar muda merangsang mereka untuk punya cita-cita, punya mimpi. Mimpi adalah energi mereka untuk meraih baju baru di masa depan. kemajuan dan kemandirian adalah baju anak-anak di masa depan. Pengajar muda hadir di sana, di desa mereka, untuk turut membukakan pintu menuju masa depan yang jauh lebih baik.
“Malu”, “Mau”, “Maju”
Seperti cerita yang ditulis oleh Sekar Arrum Nuswantara, pengajar muda di Majene. Ia menuliskan cerita tentang semangat peserta didiknya bernama Satriana. Satriana merupakan peserta didik yang ia pilih untuk menemani bertemu dengan wakil Presiden RI Boediono saat kunjung ke Majene.
Satriana dipilih karena ia berhasil menuliskan sebuah surat yang cukup menyentuh hati. “Pak, saya ucapkan selamat kepada Bapak karena Bapak telah berhasil menjadi wakil presiden. Waktu kecil Bapak pasti bercita-cita menjadi wakil presiden, dan sekarang sudah terwujud. Saya juga bercita-cita jadi dokter, Pak. Doakan agar saya bisa jadi dokter, ya, Pak”. Surat Satriana pun diterima secara langsung oleh wakil Presiden. Dan Satriana pun mendapat doa dari wakil Presiden, “Kamu akan menjadi orang besar, Nak” (hlm. 110).
Kisah inspiratif juga hadir dari Nanda Yunika Wulandari, Pengajar muda di Bengkalis. Ia berhasil membesarkan hati peserta didiknya untuk maju. Saat peserta didiknya merasa bahwa ketika kalah dalam lomba, maka Ibu Guru akan merasa malu.
Dengan kegigihannya, ia berhasil menghilangkan satu huruf “L” dari kata “malu” menjadi “mau”. Setalah “mau” maka ia menambahkan huruf “J” menjadi “maju”. Berkat semangat dan optimism, anak-anak di Bengkalis mampu mengikuti olimpiade dan lomba-lomba lainnya. Mereka pun mendapatkan hasil yang maksimal, yaitu juara.
Buku ini seakan menunjukkan secara gamblang wajah pendidikan di negeri ini. Pendidikan yang masih compang-camping. Pendidikan di pelosok negeri yang tidak terurus. Namun, semangat anak-anak di pelosok negeri yang besar dan membara membuktikan bahwa mereka masih mempunyai semangat untuk maju dan mampu turut serta dalam membangun masa depan bangsa Indonesia.
*) Benni Setiawan, alumnus Program Pascasarjana Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Yogyakarta.
Selasa, 11 September 2012
Tutorial Membuat Logo Hut RI ke 67
Tutorial Membuat Logo Hut RI ke 67
Haloo buat agan-agan yang mau bikin logo HUT RI yang ke 67 bisa belajar disini. Cekidot gan :DSebelumnya maaf yak kalo masih anta, maklum masih newbie gan.....
Pertama siapin kopi sama cemilan hahahha
Membuat angka "6" dan "7"
a. Membuat angka 6:
Buat 1 persi panjang dan 2 lingkaran (besar dan kecil)
Kemudian.,,,,,,,,,,,
Lalu gabungkan lingkaran besar dengan persegi panjang seperti diatas
Kemudian hasil gabungan gambar tadi di blok, sesudah itu klik weld
Masukkan lingkaran kecil kedalam gambar yang sudah di weld
Buat lingkaran lagi untuk disisipkan diantara angka 6 seperti gambar diatas
Klik Freehand tool --> Polylinetool untuk membuat garis miring di angka 6
Hasil dari garis yang ada didalam angka 6 pada "hairline" diubah menjadi "4,0 pt" (lihat pada gambar)
Pilih outline pen pada toolbox outline tool untuk mengedit garis dan warna pada garis dalam angka 6
Ini hasil dari angka 6 :)
Sampe step ini bingung ya? Gue aja bingung jelasinnya gimana hahahaha :D
b. Membuat angka "7"
Buat 2 persegi panjang (panjang dan pendek)
Atur kedua persegi panjang tersebut hingga membentuk angka 7 atau ikuti gambar diatas
Blok hasil bentuk angka 7 tersebut kemudian klik "weld"
Hasil dari weld kemudian gunakan toolbox freehand tool > pilih polyline tool untuk membuat garis dalam angka 7
Kemudian hasil dari polyline diubah pada "hairline" menjadi "4,0 pt"
Ini adalah hasil dari angka 7 yang sudah kita buat (padahal gue yang buat lu yg niruin) hahaha
c. Membuat bendera Indonesia
Buatlah sebuah persegi
Klik kanan pada persegi tersebut kemudian pilih "Convert to Curve"
Pilih shape tool pada toolbox
Klik pada sisi tengah atas bagian persegi kemudian klik "convert line to curve"
Hasil dari convert line to curve tersebut kemudian dibuat seperti pada gambar. Lalu pada sudut atas kiri gambar dan sudut bawah kanan gambar diberi "make node smooth"
Jika editan bendera sudah sesuai selera kemudian di copast untuk disatukan seperti pada gambar diatas dan diberi warna
Ini adalah hasil akhir dari editan bendera Indonesia. Hahahahahappp
d. Membuat teks "KEMERDEKAAN REPUBLIK INDONESIA"
Buat satu lingkaran dan teks bertuliskan "KEMERDEKAAN REPUBLIK INDONESIA"
Pada teks "KEMERDEKAAN REPUBLIK INDONESIA" klik "Text" pada menu bar > klik "Fit Text To Path". Kemudian akan muncul arah panah hitam besar lalu arahkan ke lingkaran tersebut
Setelah teks diarahkan kemudian klik "Place On Other Side" pada teks (lihat tanda merah)
Klik "Text Placement" (lihat tanda merah) kemudian pilih urutan nomor 3
Hapus lingkaran dan hasilnya akan menjadi seperti ini hahahahahaha
HASIL AKHIR
SELAMAT MENCOBA
Langganan:
Postingan (Atom)